Adalah
Jeremy Bentham, seorang filsuf Inggris abad ke-16, penabur benih tumbuhnya
istilah Panapticon. Nama Bentham akan sering ditemukan bersandingan dengan
J.S.Mill, Priestly dan Locke, sebagai penganut paham utilitarianisme—pandangan
tentang tindakan benar salah yang didasarkan konsekuensi atas kebahagiaan
manusia.
Pemikiran
Bentham dikenal lewat tulisan-tulisannya yang kemudian laris dalam bentuk buku: “An Introduction to the Principles of Morals
and Legislation”. Buku tersebut banyak mengkaji tentang nilai moral
dan keadilan. Setidaknya begitu yang ditulis oleh James Garvey dalam
bukunya, The Twenty Greatest
Philosophy Books.
Tidak
banyak yang tahu perihal buah karya Bentham di luar tulisan-tulisannya. Bahwa
selain mengkaji dan menulis filsafat dan teori hukumnya, Bentham pun mendesain
rumah-rumah serba guna, sistem-sistem pemanas dan unit-unit pendingin, alat
bukti catatan bank palsu dan merancang penjara Panaptic.
Panaptic
merupakan sebuah penjara yang dirancang Bentham dengan konsep menjaga penghuni
tahanan di bawah pengawasan terus-menerus dengan hanya sedikit penjaga. Ide ini
datang dalam rangka membantu pemerintah yang berkuasa untuk merancang model
penjara murah.
Panaptic
menekan biaya pengawasan dengan berbekal beberapa orang pengawas yang dapat
memantau banyak tahanan dari luar penjara. Para tahanan tahu bahwa kegiatan
mereka sedang diawasi, namun mereka tidak tahu di mana para pengawas itu
berada. Hal ini membuat tindakan mereka terbatasi sebab merasa senantiasa
diawasi.
Model
penjara ini kemudian mengilhami Foucault untuk mengembangkan gagasannya terkait
konsep kekuasaan dan pengetahuan dengan cara produksi wacana. Foucalt
mengistilahkan kondisi masyarakat yang dipantau oleh mata-mata penguasa dengan
fenomena Panapticon.
Fenomena
Panapticon pernah digambarkan oleh Nurhady Sirimorok dalam bukunya yang
mengkritisi Andrea Hirata saat memuja negeri Eiffel dalam novel tersohornya,
Laskar Pelangi. Bagi Nurhady, Andrea alpa menggambarkan bagaimana orang-orang
yang ada di sekitar Eiffel yang merasa diawasi dan anehnya mereka tidak tahu di
mana para pengawas itu berada.
***
Sejenak,
mari beralih dari penjara Panapticon menuju perbincangan ihwal dunia maya yang
kita cipta lewat berbagai media. Khusus kali ini, kita fokuskan saja pada media
sosial bernama facebook—yang jika seseorang memiliki akun di media sosial,
maka hampir dapat dipastikan memiliki pula akun facebook.
Sependek
pengingatan saya, facebook mulai nge-trend
di sekitar tahun 2009. Saya mengingatnya sebab masa itu adalah tahun saya lulus
SMA dan beranjak menjadi calon mahasiswa. Waktu itu, saya membuat akun di facebook karena
kebanyakan kami—saya dan teman-teman SMA—sudah terpisah dengan tujuan tempat
yang berbeda, baik untuk kuliah maupun bekerja.
Facebook mampu
mempertemukan kami dalam ruang maya. Komunikasi lewat facebook di
grup-grup tentu saja lebih murah dan efisien, ketimbang meng-sms satu per satu
untuk bertukar kabar.
Namun
kemudian, setelah lebih dari lima tahun, keberadaan seseorang dalam dunia facebook kian
diwarnai berbagai motif. Tidak lagi melulu tentang tukar-menukar kabar, tapi
mulai dari motif penculikan hingga membuat akun untuk menikmati aplikasi permainan
daring.
Isi
dari up date-an status facebook
pun kian beragam. Namun, kita sepertinya akan sepakat bahwa tidak sulit untuk
menemukan status-status berupa luapan kesedihan dan kegembiraan seseorang di
beranda facebook.
Media
sosial memang sungguh-sungguh menggoda untuk berbagi aktivitas kita. Bahkan
tidak sungkan membagikan perasaan-perasaan kita saat merasa jengkel atau suka
dengan seseorang, baik secara tersurat maupun lewat simbol-simbol.
Kegiatan
berbagi ini bahkan sampai pada kesan memamerkan setiap tindakan si pengguna
akun. Jika sudah demikian, maka media sosial yang merupakan perwujudan dari
melesatnya teknologi, kini hadir sebagai sesuatu yang ternyata dapat memicu
kebanggaan seseorang jika kegiatannya diketahui orang lain.
Setengah
abad sebelum sekarang, Jaques Ellul dalam bukunya, The Technological Society, pernah mewanti-wanti dampak dari
munculnya teknologi. Bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusialah yang
akhirnya harus menyesuaikan diri dengan produk teknologi. Lebih keras Ellul
mengingatkan, manusia sering terpenjara dalam kisi-kisi teknologi yang tak
pelak merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya.
***
Dalam
beberapa tulisan sebelum hadirnya tulisan ini, fenomena dan dampak dari media
sosial telah dibahas secara lebih tajam dalam berbagai perspektif oleh M.Aan
Mansyur, Sinta Febriany Sjahrir, dan Hasrul Eka Putra. Tulisan-tulisan mereka
tersebut, terbit di Koran Tempo Makassar, Rubrik Literasi, tempat di mana inti
dari tulisan saya ini juga diterbitkan tepat pekan lalu dengan judul Penjara
Murah. Sudut pandang yang membedakan tulisan ini dengan tulisan-tulisan
tersebut adalah saya meminjam konsep penjara dari Bentham, Panaptic, seperti
yang sudah saya uraikan di bagian awal tulisan ini.
Menjadi
menarik untuk kita pikirkan bahwa beberapa kita mungkin secara tidak sadar
telah membentuk penjara Panaptic dalam media sosial bernama facebook. Ketika
seorang pengguna akun media sosial ini membagikan informasi
kegiatan-kegiatannya—yang mungkin saja tidak bermanfaat bagi orang lain,
foto-fotonya saat makan di restoran mahal, atau bahkan keluh-kesahnya terkait
kehidupan pribadinya. Informasi tersebut menyebar, dibaca oleh banyak orang
yang bahkan tidak dikenalnya, di tempat yang mungkin juga tidak dijangkaunya
dan dapat dibaca sepanjang informasi tersebut belum dihapuskan.
Bedanya,
dalam penjara rancangan Bentham, para tahanan ketakutan beraktivitas karena
senantiasa merasa diawasi, sementara akun media sosial rancangan Mark Elliot
Zuckerberg ini menjadikan penggunanya secara sukarela menginformasikan
tetek-bengek kehidupannya kepada dunia, bahkan untuk hal-hal yang sifatnya
privasi sekali pun.
Kata
banyak orang bijak, tulisan akan mengabadi dan menjadi prasasti jauh, jauh di
kemudian hari. Maka jika kalimat-kalimat yang kita bagikan itu baik nan
manfaat, ia akan mengabadi sebagai amal jariyah. Sebaliknya, tulisan buruk pun,
yang terpampang di beranda maya, akan mengabadi sebagai dosa jariyah bukan?
Status-status
yang kita bagikan, apakah memang perlu untuk dituliskan. Ataukah semata untuk
berbagi cerita saja dengan teman-teman yang mungkin tidak perlu membacanya.
Ini
mengingatkan saya dengan sikap megalomania pada diri seorang penulis yang
katanya cenderung merasa bahwa pikiran-pikiran dan kisah-kisahnya jua yang
paling menarik. Dan karena setiap orang (bisa menjadi) penulis—entah untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain—maka hal ini yang menyebabkan banyak
orang dengan senang hati menulis status-status tentang suasana hati,
pencapaian-pencapaian “ini loh aku”, hingga hal remeh-temeh di media sosial.
Ketika
akses terhadap informasi terkait diri kita terumbar dan tidak lagi berbatas,
ini berarti dengan sendirinya kita dengan tangan terbuka menyambut orang-orang
yang menjadi teman di media sosial sebagai opticon (pengamat) bagi diri kita. Betapa mud(r)ahnya
informasi itu terbaca di hadapan orang lain. Cukup daring, lalu status dibagi.
Saya
akhirnya harus menegur diri sendiri untuk tidak risih dan marah, saat orang
lain meng-kepo-i kehidupan pribadi
saya. Sebab di masa lalu, saya memang banyak mengumbar informasi-informasi yang
sepertinya tidak layak menjadi konsumsi publik.
Mungkin,
Bentham tidak akan pernah menyangka bahwa konsep penjara murah yang dirancangnya
tidak hanya berguna bagi penguasa di zamannya. Panaptic yang dirancangnya telah
berhasil melampaui zamannya hingga zaman di mana aktivitas-aktivitas dan
perasaan-perasaan privasi kita tersebar dalam dunia sosial. Saat kita dengan
sukarela menjadi tahanan yang diamati banyak orang yang bahkan tidak kita kenal
sekali pun.
Sebagai
informasi terakhir tentang Bentham, saya menemukan namanya dalam salah satu
buku Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi—yang dalam
kurun waktu dua belas tahun setelah penerbitannya, masih saja setia melewati
mesin cetak di penerbitan. Bentham ditulis oleh Fakih berderet dengan nama
David Ricardo, James Mill, Thomas Robert Malthus dan J.B. Say sebagai pengikut
dan pemikir yang sejalan dengan Adam Smith. Ya, anda tentu dapat menebak teori
itu adalah Teori Ekonomi Klasik yang tak lain adalah akar Teori Ekonomi
Kapitalisme.
Nah!
Jika anda kemudian mencoba menebak lagi, barangkali ada hubungan kausalitas
antara facebook dengan konsep produksi wacana dalam menghegemoni
pemikiran masyarakat luas untuk berkiblat pada kapitalisme. Sejujurnya, saya
juga sedang memikirkannya!
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Sabtu,
24 Mei 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar