Jumat, 09 Mei 2014

Kolektor Buku



Alkisah, seorang mahasiswa yang memasuki awal perkuliahannya, baru saja membeli empat buah buku untuk empat mata kuliahnya. Selain buku wajib, ia juga membeli beberapa buku penunjang. Karena kegemarannya pada sastra dan buku-buku kritis, maka tak lupa pula ia membeli beberapa judul untuk kedua jenis buku tersebut.

Apa yang dilakukannya adalah sedang berusaha memuaskan diri dengan berbagai pengetahuan dari buku. Namun sayangnya, setelah berminggu-minggu, buku-buku itu belum terjamah semua. Semangatnya untuk membaca tidak sebesar semangatnya saat membeli buku-buku itu.

Rupanya, seperti istilah masyarakat kita di Sulawesi Selatan, mahasiswa ini—yang adalah saya sendiri—terjangkit sindrom “panas-panas tai kucing”. Istilah ini untuk menyebut kondisi seseorang yang bersemangat di awal lantas melemah seiring waktu.

Beberapa kolektor buku bisa jadi adalah mereka yang senang ke toko buku hanya sebagai wahana eskapis, memilih toko buku sebagai tempat pelarian. Tidak heran kemudian jika kegiatan membeli buku merupakan wujud impulsif yang membuat buku yang terbeli teronggok tak terbaca.

Padahal, buku pernah menjadi sebuah barang yang sangat berharga dan dijaga pada masa Gelap Eropa, lebih dari 15 abad silam. Masa itu, seorang sarjana akan menulis surat kepada teman jauhnya lewat reruntuhan perang dan jarahan bandit-bandit hanya untuk menanyakan kalau-kalau ada buku yang dapat disalin dan dipinjam. Kisah ini dapat ditemukan dalam tulisan Gilbert Higet yang membahas tentang pentingnya sebuah buku pada masa yang disebutnya sebagai Zaman Kegelapan.

Jika pada zaman tersebut buku dikumpulkan untuk dilindungi sebagai sebuah benda suci, maka pada zaman ini, beberapa orang membeli buku karena alasan buku merupakan benda yang kolektibel. Thomas Frognal Dibdin, penulis kelahiran Inggris yang menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan megah di Althorp, mengistilahkan orang-orang seperti ini dengan nama bibliomania.

Dibdin menjelaskan bahwa ciri-ciri orang yang diserang wabah penyakit bibliomania adalah matanya nanar ketika melihat serangkaian huruf kecil yang dicetak miring pada katalog buku lelang ”unik dan langka”. Ini dijelaskannya dalam buku,“The Bibliomania”.

Penulis lain, Deidre Lynch turut mengecam pengidap bibliomania dalam tulisannya yang diterbitkan di website resmi artikel ilmiah Indiana University, “Wedded to Books: Bibliomania and the Romanitic Essayists”. Dan, saya sepertinya berpotensi untuk menjadi salah satu yang dikecam Dibdin dan Lynch jika berikutnya tidak lebih telaten mengingatkan diri sendiri untuk tidak kalap membeli buku saat berkunjung ke toko buku.

Salah seorang yang telah nyata mengidap bibliomania ini adalah ahli hukum asal Prancis bernama Boulard. Ia tergila-gila membeli buku hingga harus membeli tujuh rumah—sebagian orang bahkan mengatakan ada delapan—untuk menampung buku-bukunya. Hingga kematiannya, koleksi berjumlah sekitar 800-ribu jilid hanya ditumpuk tanpa dibaca.

Cerita lain datang dari seseorang bernama Baresford. Ia merasa tersinggung dengan istilah Dibdin yang digunakan untuk seseorang yang dianggap terjangkit penyakit bahkan kelainan bagi kolektor buku. Sebenarnya, bukan tanpa sebab bibliomania disebut sebagai penyakit. Pasalnya, seorang pakar kedokteran bernama Dr. John Ferriar, pernah menuliskan dalam puisi-puisinya bahwa bibliomania adalah hasrat liar, siksaan tiada akhir yang diidap manusia malang, pengidap penyakit buku.

Dibbin mengatakan bahwa menjijikkan ketika kegiatan mengumpulkan buku dilakukan dengan hasrat yang meledak-ledak tanpa tujuan intelektual yang jelas. Sepertinya memang memprihatinkan ketika kita tergila-gila dengan tumpukan kertas yang terjilid rapi, menghabiskan uang begitu banyak dan tidak mendapatkan pengetahuan darinya.

Ini membuat saya teringat dengan dosen saya, Anis Chariri—salah satu pakar metode penelitian kualitatif di Indonesia yang disertasinya sempat mendapat penghargaan dari Wollonggong University —pernah berucap bahwa buku tak lain hanyalah seonggok kertas. Bagi jebolan University of New South Wales ini, buku akan menjadi bermakna ketika kita memberikan interpretasi atas kalimat-kalimat yang ada di dalamnya.

Namun sayangnya bagi Baresford—penentang istilah Dibdin yang menyebut kolektor buku sebagai bibliomania—mengoleksi buku meski tanpa dibaca adalah salah satu perbuatan mulia. Mengoleksi buku adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Sehingga, mereka yang sudi menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menghimpun, merawat dan menjaga ribuan buku sebenarnya lebih patut disebut bibliophia—buku dan kebijaksanaan.

Sebenarnya ada banyak istilah lain untuk orang-orang yang dekat dengan buku, entah bermakna positif atau negatif. Sebut saja biblioholic, biblioklas, bibliocaust, bibliokleptomania dan bibiliofile. Apapun istilahnya, semoga kita sepakat bahwa yang terpenting adalah kegiatan memperoleh pengetahuan itu sendiri.

Buku hanyalah alat. Sehingga, menjadi percuma kegiatan membeli buku, jika tidak memperoleh pengetahuan darinya.

Ali bin Abu Thalib, khalifah muslim yang terkenal dengan kecerdasannya, pernah berpesan, “seseorang yang (selalu) menyibukkan dirinya dengan buku-buku, tidak akan pernah kehilangan ketenangan akalnya.”. Dan untuk kita ingat, sibuk membeli buku dan sibuk membacanya adalah dua hal berbeda.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Sabtu, 08 Mei 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar