Alkisah,
seorang mahasiswa yang memasuki awal perkuliahannya, baru saja membeli empat
buah buku untuk empat mata kuliahnya. Selain buku wajib, ia juga membeli
beberapa buku penunjang. Karena kegemarannya pada sastra dan buku-buku kritis, maka
tak lupa pula ia membeli beberapa judul untuk kedua jenis buku tersebut.
Apa
yang dilakukannya adalah sedang berusaha memuaskan diri dengan berbagai
pengetahuan dari buku. Namun sayangnya, setelah berminggu-minggu, buku-buku itu
belum terjamah semua. Semangatnya untuk membaca tidak sebesar semangatnya saat
membeli buku-buku itu.
Rupanya,
seperti istilah masyarakat kita di Sulawesi Selatan, mahasiswa ini—yang adalah
saya sendiri—terjangkit sindrom “panas-panas tai kucing”. Istilah ini untuk
menyebut kondisi seseorang yang bersemangat di awal lantas melemah seiring
waktu.
Beberapa
kolektor buku bisa jadi adalah mereka yang senang ke toko buku hanya sebagai
wahana eskapis, memilih toko buku sebagai tempat pelarian. Tidak heran kemudian
jika kegiatan membeli buku merupakan wujud impulsif yang membuat buku yang
terbeli teronggok tak terbaca.
Padahal,
buku pernah menjadi sebuah barang yang sangat berharga dan dijaga pada masa
Gelap Eropa, lebih dari 15 abad silam. Masa itu, seorang sarjana akan menulis
surat kepada teman jauhnya lewat reruntuhan perang dan jarahan bandit-bandit
hanya untuk menanyakan kalau-kalau ada buku yang dapat disalin dan dipinjam.
Kisah ini dapat ditemukan dalam tulisan Gilbert Higet yang membahas tentang
pentingnya sebuah buku pada masa yang disebutnya sebagai Zaman Kegelapan.
Jika
pada zaman tersebut buku dikumpulkan untuk dilindungi sebagai sebuah benda
suci, maka pada zaman ini, beberapa orang membeli buku karena alasan buku
merupakan benda yang kolektibel. Thomas Frognal Dibdin, penulis kelahiran
Inggris yang menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan megah di
Althorp, mengistilahkan orang-orang seperti ini dengan nama bibliomania.
Dibdin
menjelaskan bahwa ciri-ciri orang yang diserang wabah penyakit bibliomania
adalah matanya nanar ketika melihat serangkaian huruf kecil yang dicetak miring
pada katalog buku lelang ”unik dan langka”. Ini dijelaskannya dalam buku,“The Bibliomania”.
Penulis
lain, Deidre Lynch turut mengecam pengidap bibliomania dalam tulisannya yang
diterbitkan di website resmi artikel ilmiah Indiana University, “Wedded to
Books: Bibliomania and the Romanitic Essayists”. Dan, saya sepertinya
berpotensi untuk menjadi salah satu yang dikecam Dibdin dan Lynch jika
berikutnya tidak lebih telaten mengingatkan diri sendiri untuk tidak kalap
membeli buku saat berkunjung ke toko buku.
Salah
seorang yang telah nyata mengidap bibliomania ini adalah ahli hukum asal
Prancis bernama Boulard. Ia tergila-gila membeli buku hingga harus membeli
tujuh rumah—sebagian orang bahkan mengatakan ada delapan—untuk menampung
buku-bukunya. Hingga kematiannya, koleksi berjumlah sekitar 800-ribu jilid
hanya ditumpuk tanpa dibaca.
Cerita
lain datang dari seseorang bernama Baresford. Ia merasa tersinggung dengan
istilah Dibdin yang digunakan untuk seseorang yang dianggap terjangkit penyakit
bahkan kelainan bagi kolektor buku. Sebenarnya, bukan tanpa sebab bibliomania
disebut sebagai penyakit. Pasalnya, seorang pakar kedokteran bernama Dr. John
Ferriar, pernah menuliskan dalam puisi-puisinya bahwa bibliomania adalah hasrat
liar, siksaan tiada akhir yang diidap manusia malang, pengidap penyakit buku.
Dibbin
mengatakan bahwa menjijikkan ketika kegiatan mengumpulkan buku dilakukan dengan
hasrat yang meledak-ledak tanpa tujuan intelektual yang jelas. Sepertinya
memang memprihatinkan ketika kita tergila-gila dengan tumpukan kertas yang
terjilid rapi, menghabiskan uang begitu banyak dan tidak mendapatkan
pengetahuan darinya.
Ini
membuat saya teringat dengan dosen saya, Anis Chariri—salah satu pakar metode
penelitian kualitatif di Indonesia yang disertasinya sempat mendapat
penghargaan dari Wollonggong University
—pernah berucap bahwa buku tak lain hanyalah seonggok kertas. Bagi jebolan University of New South Wales ini, buku
akan menjadi bermakna ketika kita memberikan interpretasi atas kalimat-kalimat
yang ada di dalamnya.
Namun
sayangnya bagi Baresford—penentang istilah Dibdin yang menyebut kolektor buku
sebagai bibliomania—mengoleksi buku meski tanpa dibaca adalah salah satu
perbuatan mulia. Mengoleksi buku adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu
pengetahuan. Sehingga, mereka yang sudi menghabiskan waktu dan tenaganya untuk
menghimpun, merawat dan menjaga ribuan buku sebenarnya lebih patut disebut
bibliophia—buku dan kebijaksanaan.
Sebenarnya
ada banyak istilah lain untuk orang-orang yang dekat dengan buku, entah
bermakna positif atau negatif. Sebut saja biblioholic, biblioklas, bibliocaust,
bibliokleptomania dan bibiliofile. Apapun istilahnya, semoga kita sepakat bahwa
yang terpenting adalah kegiatan memperoleh pengetahuan itu sendiri.
Buku
hanyalah alat. Sehingga, menjadi percuma kegiatan membeli buku, jika tidak
memperoleh pengetahuan darinya.
Ali
bin Abu Thalib, khalifah muslim yang terkenal dengan kecerdasannya, pernah
berpesan, “seseorang yang (selalu) menyibukkan dirinya dengan buku-buku, tidak
akan pernah kehilangan ketenangan akalnya.”. Dan untuk kita ingat, sibuk
membeli buku dan sibuk membacanya adalah dua hal berbeda.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Sabtu, 08 Mei 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar