Sebagian
orang percaya, persaingan akan mendorong untuk lebih baik dengan berupaya
ekstra. Tanpa persaingan, mereka tidak dapat mengukur kemampuan mereka.
Akhirnya, kita dapat dengan mudah menemukan metode persaingan menjalar ke
berbagai aspek kehidupan.
Dalam
dunia pendidikan misalnya, tentu kita akrab dengan sistem ranking. Sistem yang
membuat menang beberapa anak yang masuk jajaran tiga besar. Bersamaan dengan
itu, membuat kalah anak-anak yang tersisa. Ironisnya, anak-anak ini biasanya
justru dalam jumlah yang lebih banyak.
Kiranya,
kita perlu mempertanyakan kembali, benarkah sistem ranking membawa dampak
posistif di dalam kelas? Sebab, Yelon dan Weinteins dalam bukunya, A Teacher’s World: Psychology in the
Classroom, menuliskan bahwa dorongan untuk menyontek akan semakin kuat
seiring dengan menguatnya suasana bersaing antar pelajar.
Dalam
dunia nyata, kita sering mendengar tentang sistem pendidikan di negara
Finlandia, di mana semangat belajar para siswa didorong dari lingkungan yang
menyenangkan, sosok guru yang membebaskan dan pelajaran yang mereka sukai. Mari
mengintip ke dunia fiksi, dalam film yang berjudul Taare Zameen Par. Film ini tampaknya cukup baik untuk menjelaskan
kepada kita, bagaimana seorang siswa yang dikucilkan dari lingkungan sekolah dan
keluarganya berhasil bangkit berkat dorongan gurunya.
Sosok
guru yang peka terhadap kebutuhan siswanya tersebut diperankan oleh Amir Khan.
Usaha sang guru mendekati seorang siswa pengidap disleksia berhasil membuatnya
bersemangat dalam belajar. Kepercayaan yang diberikan oleh guru kepada siswanya
dalam film ini, menjadi motivasi paling berarti bagi siswa tersebut.
Tentang
lingkungan sekolah, ingatan saya tertuju pada suatu kunjungan bersama
teman-teman penggiat Sekolah Rakyat KAMI ke rumah warga salah satu pemulung
yang berada di sekitar perumahan Antara, Kota Makassar. Sekitar setahun silam,
pada kunjungan itu, kami mengetahui salah seorang adik damping KAMI yang
bekerja sebagai pemulung sehari-harinya di sekitar kampus Unhas, memutuskan
untuk berhenti mengenakan seragam merah putihnya lagi.
Alasan
ia tidak mau pergi ke sekolah adalah takut dengan guru yang pernah memukulinya.
Berhari-hari dibujuk oleh kedua orang tuanya agar berangkat sekolah, tapi tak
juga mengalahkan rasa takut pada gurunya. Beginilah lingkungan sekolah telah
berhasil mengalienasi siswanya untuk belajar.
Kembali
lagi ke film yang diperankan Amir Khan, namun kali ini dalam judul yang
berbeda, 3 Idiots. Film ini
mengajarkan kita tentang bagaimana seharusnya sistem dibangun dalam dunia pendidikan,
khususnya dalam lingkup sekolah.
Seperti
yang disampaikan Amir Khan dengan memerankan sosok cerdas seorang mahasiswa
bernama Rancho, kepada rektornya, “saya tidak pernah setuju dengan sistem
ranking yang menempatkan seseorang lebih tinggi dari yang lain. Itu seperti
sistem kasta, di tingkat A kau adalah raja dan di tingkat B kau adalah budak.”
Kemenangan atas sebuah persaingan, menurut Rancho, akan membuat orang lain
merasa (di)kalah(kan).
Berpikir
menang atau kalah cenderung akan membuat para siswa belajar untuk mengejar
nilai dan akhirnya abai pada esensi belajar itu sendiri. Kali ini bukan
pernyataan dari Amir Khan dalam film mana pun, juga bukan asumsi saya sendiri,
tapi merupakan hasil penelitian dari mahasiswa psikologi yang bernama Wibowo Haryono
yang saya temukan dalam google scholar!
Rubrik Literasi, Koran Tempo
Makassar (Jumat, 11 April 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar