Sabtu, 12 April 2014

Amir Khan dan Sisi Gelap Persaingan




Sebagian orang percaya, persaingan akan mendorong untuk lebih baik dengan berupaya ekstra. Tanpa persaingan, mereka tidak dapat mengukur kemampuan mereka. Akhirnya, kita dapat dengan mudah menemukan metode persaingan menjalar ke berbagai aspek kehidupan.

Dalam dunia pendidikan misalnya, tentu kita akrab dengan sistem ranking. Sistem yang membuat menang beberapa anak yang masuk jajaran tiga besar. Bersamaan dengan itu, membuat kalah anak-anak yang tersisa. Ironisnya, anak-anak ini biasanya justru dalam jumlah yang lebih banyak.

Kiranya, kita perlu mempertanyakan kembali, benarkah sistem ranking membawa dampak posistif di dalam kelas? Sebab, Yelon dan Weinteins dalam bukunya, A Teacher’s World: Psychology in the Classroom, menuliskan bahwa dorongan untuk menyontek akan semakin kuat seiring dengan menguatnya suasana bersaing antar pelajar.

Dalam dunia nyata, kita sering mendengar tentang sistem pendidikan di negara Finlandia, di mana semangat belajar para siswa didorong dari lingkungan yang menyenangkan, sosok guru yang membebaskan dan pelajaran yang mereka sukai. Mari mengintip ke dunia fiksi, dalam film yang berjudul Taare Zameen Par. Film ini tampaknya cukup baik untuk menjelaskan kepada kita, bagaimana seorang siswa yang dikucilkan dari lingkungan sekolah dan keluarganya berhasil bangkit berkat dorongan gurunya.

Sosok guru yang peka terhadap kebutuhan siswanya tersebut diperankan oleh Amir Khan. Usaha sang guru mendekati seorang siswa pengidap disleksia berhasil membuatnya bersemangat dalam belajar. Kepercayaan yang diberikan oleh guru kepada siswanya dalam film ini, menjadi motivasi paling berarti bagi siswa tersebut.

Tentang lingkungan sekolah, ingatan saya tertuju pada suatu kunjungan bersama teman-teman penggiat Sekolah Rakyat KAMI ke rumah warga salah satu pemulung yang berada di sekitar perumahan Antara, Kota Makassar. Sekitar setahun silam, pada kunjungan itu, kami mengetahui salah seorang adik damping KAMI yang bekerja sebagai pemulung sehari-harinya di sekitar kampus Unhas, memutuskan untuk berhenti mengenakan seragam merah putihnya lagi.

Alasan ia tidak mau pergi ke sekolah adalah takut dengan guru yang pernah memukulinya. Berhari-hari dibujuk oleh kedua orang tuanya agar berangkat sekolah, tapi tak juga mengalahkan rasa takut pada gurunya. Beginilah lingkungan sekolah telah berhasil mengalienasi siswanya untuk belajar.

Kembali lagi ke film yang diperankan Amir Khan, namun kali ini dalam judul yang berbeda, 3 Idiots. Film ini mengajarkan kita tentang bagaimana seharusnya sistem dibangun dalam dunia pendidikan, khususnya dalam lingkup sekolah.

Seperti yang disampaikan Amir Khan dengan memerankan sosok cerdas seorang mahasiswa bernama Rancho, kepada rektornya, “saya tidak pernah setuju dengan sistem ranking yang menempatkan seseorang lebih tinggi dari yang lain. Itu seperti sistem kasta, di tingkat A kau adalah raja dan di tingkat B kau adalah budak.” Kemenangan atas sebuah persaingan, menurut Rancho, akan membuat orang lain merasa (di)kalah(kan).

Berpikir menang atau kalah cenderung akan membuat para siswa belajar untuk mengejar nilai dan akhirnya abai pada esensi belajar itu sendiri. Kali ini bukan pernyataan dari Amir Khan dalam film mana pun, juga bukan asumsi saya sendiri, tapi merupakan hasil penelitian dari mahasiswa psikologi yang bernama Wibowo Haryono yang saya temukan dalam google scholar!

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 11 April 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar