Sabtu, 15 Februari 2014

Mahalnya Senyuman & Terima Kasih




Pernah, saya sedang di sebuah bandara, menunggu jadwal masuk ruang tunggu. Tepatnya, duduk tepat di depan pintu transit. Entah dari mana datangnya para penumpang yang berseliweran di depan saya saat itu. Jelasnya, sebagian dari mereka akan melanjutkan perjalanan ke Mataram, Lombok.

Iseng, saya perhatikan seorang karyawan bandara yang berdiri menjemput para penumpang tersebut untuk menunjukkan arah kepada mereka. Dia terus saja mengulang kalimat, “yang transit ke Lombok, silahkan ke Gate 7.” Tidak berhenti ia mengucapkan itu, hingga para penumpang yang berdatangan habis.

Sekira lebih dari tiga puluh penumpang, mereka hanya berlalu melewati karyawan bandara yang telah memberi mereka arahan. Tidak ada senyuman, apalagi ucapan terima kasih. Kecuali, seorang wanita yang sempat mengucapkan terima kasih, itu pun dengan suara kecil dan tanpa memandang ke arah karyawan.

Mahalnya senyuman dan ucapan terima kasih telah menjangkiti interaksi sosial kita. Barangkali kita sudah terbiasa melihat para penumpang angkutan umum yang membayar sewa angkutan tanpa senyuman dan ucapan terima kasih kepada supir angkutan. Maka kali ini saya mengajak Anda untuk mengingat, seberapa seringnya kita menggunakan toilet umum dan memilih pergi begitu saja tanpa menoleh kepada petugas kebersihan di sana? Kita sudah begitu sering melihat atau bahkan menjadi pengguna jasa orang-orang kecil ini tanpa sempat meninggalkan ucapan terima kasih dan senyuman kepada mereka.

Barangkali memang kita telah berada di dunia yang serba instan dan terburu-buru. Kita tak sempat lagi, meski hanya dua atau tiga detik untuk menampakkan wajah dengan senyuman dan mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang lain. Kebiasaan kita yang abai pada lingkungan sekitar, perlahan-lahan telah mengikis salah satu jenis kecerdasan yang kita miliki, yang oleh Daniel Goleman diberi nama kecerdasan sosial.

Goleman adalah penerima American Psyhological Association’s Lifetime Achievement Award yang tulisan-tulisannya terkait ilmu otak dan perilaku telah diterbitkan oleh New York Times selama 12 tahun terakhir. Penerima gelar Ph.D dari Harvard University ini melihat bahwa kesibukan manusia ditambah dengan dihantamnya gelombang teknologi dalam hampir setiap lini kehidupan, telah membuat manusia hidup dengan dunianya masing-masing. Salah satu kecerdasan sosial berupa keinginan untuk saling menghargai sesama manusia, telah mengalami penurunan drastis.

Ilmu tentang kecerdasan sosial yang telah mengalami korosi bagi Goleman, sebenarnya merupakan penurunan dari ilmu yang jauh sebelumnya telah ditemukan oleh John Cacioppo dan Gary Berntson. Jika Anda pernah mendengar nama keduanya, maka ingatan Anda akan tertuju pada dua orang psikolog yang memperkenalkan ilmu sosial neuroscience. Cacioppo menemukan sesuatu dalam diri manusia yang dapat mempengaruhi otak dan biologisnya sekaligus, ialah perilaku sosial manusia itu sendiri.

Memang telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa senyuman dapat merangsang hormon endorphin dan serotonin, pereda rasa sakit yang alami. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa senyuman pernah menjadi penyelamat Letnan Kolonenl Christopher Hughes bersama pasukannya saat berhadapan dengan ratusan muslim di Irak.

Pasukan Hughes berniat datang meminta bantuan kepada para ulama tersebut untuk mengorganisir distribusi suplai bantuan. Namun apa yang terjadi kemudian adalah gerombolan ulama tersebut menangkap kedatangan pasukan Hughes sebagai bencana.

Saat pasukan ulama berteriak-teriak sembari bersenjata lengkap mendekati pasukan Hughes, tiba-tiba Hughes memerintahkan pasukannya untuk berlutut dan setelah itu, perintahnya adalah: tersenyum!

Pada titik tersebut, suasana menjadi berbeda. Hingga beberapa orang menepuk punggung prajurit-prajurit tersebut ketika Hughes memerintahkan anak buahnya mundur secara perlahan dengan tetap tersenyum.

Terlepas dari siapa berhadapan dengan siapa serta isu politik yang dikandung, jelasnya bahwa kekuatan senyuman yang telah mampu mendamaikan pasukan Hughes dan para ulama pada peristiwa tersebut setidaknya menjadi gambaran bagi kita untuk tidak lagi meremehkan sebuah senyuman. Dan kabar baiknya adalah, senyuman itu gratis. Kabar baiknya lagi, penelitian sebelumnya menemukan bahwa senyuman akan membuat wajah kita lebih awet muda.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 14 Febaruari 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar