Pernah,
saya sedang di sebuah bandara, menunggu jadwal masuk ruang tunggu. Tepatnya, duduk
tepat di depan pintu transit. Entah dari mana datangnya para penumpang yang
berseliweran di depan saya saat itu. Jelasnya, sebagian dari mereka akan
melanjutkan perjalanan ke Mataram, Lombok.
Iseng,
saya perhatikan seorang karyawan bandara yang berdiri menjemput para penumpang
tersebut untuk menunjukkan arah kepada mereka. Dia terus saja mengulang
kalimat, “yang transit ke Lombok, silahkan ke Gate 7.” Tidak berhenti ia mengucapkan itu, hingga para
penumpang yang berdatangan habis.
Sekira
lebih dari tiga puluh penumpang, mereka hanya berlalu melewati karyawan bandara
yang telah memberi mereka arahan. Tidak ada senyuman, apalagi ucapan terima
kasih. Kecuali, seorang wanita yang sempat mengucapkan terima kasih, itu pun
dengan suara kecil dan tanpa memandang ke arah karyawan.
Mahalnya
senyuman dan ucapan terima kasih telah menjangkiti interaksi sosial kita.
Barangkali kita sudah terbiasa melihat para penumpang angkutan umum yang
membayar sewa angkutan tanpa senyuman dan ucapan terima kasih kepada supir
angkutan. Maka kali ini saya mengajak Anda untuk mengingat, seberapa seringnya
kita menggunakan toilet umum dan memilih pergi begitu saja tanpa menoleh kepada
petugas kebersihan di sana? Kita sudah begitu sering melihat atau bahkan
menjadi pengguna jasa orang-orang kecil ini tanpa sempat meninggalkan ucapan
terima kasih dan senyuman kepada mereka.
Barangkali
memang kita telah berada di dunia yang serba instan dan terburu-buru. Kita tak
sempat lagi, meski hanya dua atau tiga detik untuk menampakkan wajah dengan
senyuman dan mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang lain. Kebiasaan kita
yang abai pada lingkungan sekitar, perlahan-lahan telah mengikis salah satu
jenis kecerdasan yang kita miliki, yang oleh Daniel Goleman diberi nama
kecerdasan sosial.
Goleman
adalah penerima American Psyhological
Association’s Lifetime Achievement Award yang tulisan-tulisannya
terkait ilmu otak dan perilaku telah diterbitkan oleh New York Times selama 12 tahun terakhir. Penerima gelar Ph.D
dari Harvard University ini
melihat bahwa kesibukan manusia ditambah dengan dihantamnya gelombang teknologi
dalam hampir setiap lini kehidupan, telah membuat manusia hidup dengan dunianya
masing-masing. Salah satu kecerdasan sosial berupa keinginan untuk saling
menghargai sesama manusia, telah mengalami penurunan drastis.
Ilmu
tentang kecerdasan sosial yang telah mengalami korosi bagi Goleman, sebenarnya
merupakan penurunan dari ilmu yang jauh sebelumnya telah ditemukan oleh John
Cacioppo dan Gary Berntson. Jika Anda pernah mendengar nama keduanya, maka
ingatan Anda akan tertuju pada dua orang psikolog yang memperkenalkan
ilmu sosial neuroscience. Cacioppo menemukan sesuatu dalam diri
manusia yang dapat mempengaruhi otak dan biologisnya sekaligus, ialah perilaku
sosial manusia itu sendiri.
Memang
telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa senyuman dapat merangsang hormon
endorphin dan serotonin, pereda rasa sakit yang alami. Namun, tidak banyak yang
tahu bahwa senyuman pernah menjadi penyelamat Letnan Kolonenl Christopher
Hughes bersama pasukannya saat berhadapan dengan ratusan muslim di Irak.
Pasukan
Hughes berniat datang meminta bantuan kepada para ulama tersebut untuk
mengorganisir distribusi suplai bantuan. Namun apa yang terjadi kemudian adalah gerombolan ulama tersebut
menangkap kedatangan pasukan Hughes sebagai bencana.
Saat
pasukan ulama berteriak-teriak sembari bersenjata lengkap mendekati pasukan
Hughes, tiba-tiba Hughes memerintahkan pasukannya untuk berlutut dan setelah
itu, perintahnya adalah: tersenyum!
Pada
titik tersebut, suasana menjadi berbeda. Hingga beberapa orang menepuk punggung
prajurit-prajurit tersebut ketika Hughes memerintahkan anak buahnya mundur
secara perlahan dengan tetap tersenyum.
Terlepas
dari siapa berhadapan dengan siapa serta isu politik yang dikandung, jelasnya
bahwa kekuatan senyuman yang telah mampu mendamaikan pasukan Hughes dan para
ulama pada peristiwa tersebut setidaknya menjadi gambaran bagi kita untuk tidak
lagi meremehkan sebuah senyuman. Dan kabar baiknya adalah, senyuman itu gratis.
Kabar baiknya lagi, penelitian sebelumnya menemukan bahwa senyuman akan membuat
wajah kita lebih awet muda.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat,
14 Febaruari 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar