Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah kicauan teman yang isinya berbunyi, “sesungguhnya tanda-tanda ramadan itu… munculnya Dedi Mizwar di tivi”. Sontak saja komentar berdatangan dengan jenis yang senada. Tak dimungkiri lagi, hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba menyuguhkan tayangan berbau ramadan, bahkan jauh hari sebelum ramadan itu sendiri dimulai.
Aroma
ramadan tercium dari munculnya iklan sirup dan iklan makanan khas berbuka
puasa. Tak ketinggalan produk pendukung seperti pakaian muslim-muslimah. Iklan
produk yang sebenarnya tidak berhubungan dengan pendukung ibadah puasa juga
sengaja dikait-kaitkan dengan ritus keagamaan.
Tentu
belum luput dalam ingatan kita, bagaimana seorang mistikus menjadi ikon sebuah
merek HP. Di mana HP tersebut kemudian mengalami peningkatan penjualan bahkan
belakangan dikenal sebagai HP si mistikus ketimbang nama merek HP itu sendiri.
Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh iklan bagi konsumen.
Seperti
diketahui secara umum bahwa alasan utama perusahaan melaksanakan promosi adalah
untuk meningkatkan hasil penjualan produk perusahaan. Pedrick & Zufryden
dalam jurnal ilmiah mereka, Measuring The
Competitive Effects of Advertising Media Plans, menemukan suatu model
analisis efektifitas iklan yang dapat digunakan memprediksi tingkat respon
pasar.
Melalui
model tersebut dihasilkan kesimpulan bahwa iklan tidak hanya berpengaruh
terhadap peningkatan penjualan jangka pendek tapi juga dalam jangka panjang
akan membuat konsumen (terutama yang non-loyal) tidak terlalu sensitif terhadap
harga. Kenaikan harga atas suatu barang tidak terlalu mempengaruhi keputusan
konsumen.
Dalam
beriklan, perusahaan memperhatikan beberapa faktor penting. Faktor yang cukup
berpengaruh adalah sifat pasar yang menjadi penentu variasi jenis produk yang
akan dijual dan dipasarkan dalam bentuk iklan. Produk yang diiklankan berangkat
dari asumsi bahwa konsumen selalu condong membeli barang yang berhubungan
dengan sifat lingkungannya.
Memasuki
Bulan Ramadan, tentulah kebutuhan primer maupun sekunder banyak mengikut pada
ritual-ritual yang dijalankan di bulan suci tersebut. Kebutuhan akan
barang-barang yang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan
ibadah ritual menjadi buruan di pusat-pusat perbelanjaan. Bahkan tak jarang
fokus ibadah malah beralih ke barang itu sendiri. Misalnya saja, para perempuan
akan lebih sibuk menyiapkan mukenah baru. Ini dapat dilihat dengan meningkat drastisnya
penjualan mukenah.
Di
Pasar Sentral Makassar, contohnya, akibat meningkatnya permintaan terhadap
mukenah, sebagian penjual akhirnya menyesuaikan diri. Penjual yang tadinya
banyak menjual pakaian akan beralih ke jualan mukenah. Bahkan tidak jarang
mukenah yang diperjualbelikan, harganya mencapai angka jutaan. Barangkali,
mukena bergaya dengan harga yang mahal selain terasa khusyuk di depan Sang
Khalik, sekaligus tampak anggun bagi sekeliling si pemakai.
Kenaikan
penjualan atas produk-produk yang erat hubungannya dengan Bulan Ramadhan jelas
memiliki kaitannya dengan iklan-iklan yang ada di televisi. Para penonton
diserbu oleh iklan-iklan yang menggiring mereka secara tidak sadar pada
pemikiran bahwa peningkatan kualitas ibadah sangat dipengaruhi oleh
terpenuhinya barang-barang penunjang seperti yang ditayangkan oleh televisi.
Sebut
saja merek minuman sirup X yang punya korelasi kuat dengan menu berbuka puasa.
Bagi sebagian orang, mungkin tidak afdal rasanya berbuka tanpa sirup X.
Sementara bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, menyajikan minuman sirup
dengan merek X adalah suatu kebanggaan sebab telah menganggap dirinya mampu
menyajikan menu seperti iklan di televisi.
Seorang
praktisi periklanan yang merupakan mantan marketing analis perusahaan rokok
dunia, Fidelis Indriarto menyebutnya sebagai worry marketing, strategi
pemasaran berbasis kekhawatiran. Hasil penelitian tesisnya mengungkapkan bahwa
seringkali orang membeli sesuatu hanya karena khawatir saja. Khawatir karena
rasanya tidak lengkap menu buka puasa tanpa sirup X atau khawatir dianggap
tidak mampu menyediakan menu secara mewah yang ditandai dengan hadirnya sirup
merek X, maka dibelilah sirup X.
Kebiasaan
menyeruput teh saat berbuka puasa nampaknya mulai jarang dijumpai. Budaya minum
teh di sebelas bulan lainnya diganti dengan budaya minum sirup saat berbuka
puasa di Bulan Ramadan. Barangkali inilah yang menjadi alasan guru besar
pertama bidang kajian periklanan di Indonesia, Professor Rudy Harjanto
menyatakan bahwa iklan merupakan cermin budaya masyarakat saat iklan itu
ditayangkan, termasuk harapan-harapan masyarakat itu.
Maraknya
iklan berkorelasi positif dengan meningkatnya belanja masyarakat. Budaya
konsumerisme yang dibawa oleh iklan-iklan di media, khususnya di televisi telah
membawa paradigma baru bulan ramadan sebagai bulan belanja. Ketimbang sibuk
mempersiapkan diri dari dalam, orang-orang malah sibuk mempersiapkan hal-hal
remeh yang berasal dari luar.
Budaya
konsumerisme nampaknya telah menjadi noda hitam di Bulan Ramadan yang sebagian
orang justru mengkeramatkannya sebagai bulan suci. Seharusnya Bulan Ramadhan
adalah sarana untuk melatih diri menjadi manusia yang lebih bijak dan sederhana
bukan menjadi manusia yang berlebih-lebihan.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Sabtu, 06 Juli 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar