Minggu, 07 Juli 2013

Iklanisasi Ramadan



Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah kicauan teman yang isinya berbunyi, “sesungguhnya tanda-tanda ramadan itu… munculnya Dedi Mizwar di tivi”. Sontak saja komentar berdatangan dengan jenis yang senada. Tak dimungkiri lagi, hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba menyuguhkan tayangan berbau ramadan, bahkan jauh hari sebelum ramadan itu sendiri dimulai.

Aroma ramadan tercium dari munculnya iklan sirup dan iklan makanan khas berbuka puasa. Tak ketinggalan produk pendukung seperti pakaian muslim-muslimah. Iklan produk yang sebenarnya tidak berhubungan dengan pendukung ibadah puasa juga sengaja dikait-kaitkan dengan ritus keagamaan.

Tentu belum luput dalam ingatan kita, bagaimana seorang mistikus menjadi ikon sebuah merek HP. Di mana HP tersebut kemudian mengalami peningkatan penjualan bahkan belakangan dikenal sebagai HP si mistikus ketimbang nama merek HP itu sendiri. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh iklan bagi konsumen.

Seperti diketahui secara umum bahwa alasan utama perusahaan melaksanakan promosi adalah untuk meningkatkan hasil penjualan produk perusahaan. Pedrick & Zufryden dalam jurnal ilmiah mereka, Measuring The Competitive Effects of Advertising Media Plans, menemukan suatu model analisis efektifitas iklan yang dapat digunakan memprediksi tingkat respon pasar.

Melalui model tersebut dihasilkan kesimpulan bahwa iklan tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan penjualan jangka pendek tapi juga dalam jangka panjang akan membuat konsumen (terutama yang non-loyal) tidak terlalu sensitif terhadap harga. Kenaikan harga atas suatu barang tidak terlalu mempengaruhi keputusan konsumen.

Dalam beriklan, perusahaan memperhatikan beberapa faktor penting. Faktor yang cukup berpengaruh adalah sifat pasar yang menjadi penentu variasi jenis produk yang akan dijual dan dipasarkan dalam bentuk iklan. Produk yang diiklankan berangkat dari asumsi bahwa konsumen selalu condong membeli barang yang berhubungan dengan sifat lingkungannya.

Memasuki Bulan Ramadan, tentulah kebutuhan primer maupun sekunder banyak mengikut pada ritual-ritual yang dijalankan di bulan suci tersebut. Kebutuhan akan barang-barang yang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan ibadah ritual menjadi buruan di pusat-pusat perbelanjaan. Bahkan tak jarang fokus ibadah malah beralih ke barang itu sendiri. Misalnya saja, para perempuan akan lebih sibuk menyiapkan mukenah baru. Ini dapat dilihat dengan meningkat drastisnya penjualan mukenah.

Di Pasar Sentral Makassar, contohnya, akibat meningkatnya permintaan terhadap mukenah, sebagian penjual akhirnya menyesuaikan diri. Penjual yang tadinya banyak menjual pakaian akan beralih ke jualan mukenah. Bahkan tidak jarang mukenah yang diperjualbelikan, harganya mencapai angka jutaan. Barangkali, mukena bergaya dengan harga yang mahal selain terasa khusyuk di depan Sang Khalik, sekaligus tampak anggun bagi sekeliling si pemakai.

Kenaikan penjualan atas produk-produk yang erat hubungannya dengan Bulan Ramadhan jelas memiliki kaitannya dengan iklan-iklan yang ada di televisi. Para penonton diserbu oleh iklan-iklan yang menggiring mereka secara tidak sadar pada pemikiran bahwa peningkatan kualitas ibadah sangat dipengaruhi oleh terpenuhinya barang-barang penunjang seperti yang ditayangkan oleh televisi.

Sebut saja merek minuman sirup X yang punya korelasi kuat dengan menu berbuka puasa. Bagi sebagian orang, mungkin tidak afdal rasanya berbuka tanpa sirup X. Sementara bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, menyajikan minuman sirup dengan merek X adalah suatu kebanggaan sebab telah menganggap dirinya mampu menyajikan menu seperti iklan di televisi.

Seorang praktisi periklanan yang merupakan mantan marketing analis perusahaan rokok dunia, Fidelis Indriarto menyebutnya sebagai worry marketing, strategi pemasaran berbasis kekhawatiran. Hasil penelitian tesisnya mengungkapkan bahwa seringkali orang membeli sesuatu hanya karena khawatir saja. Khawatir karena rasanya tidak lengkap menu buka puasa tanpa sirup X atau khawatir dianggap tidak mampu menyediakan menu secara mewah yang ditandai dengan hadirnya sirup merek X, maka dibelilah sirup X.

Kebiasaan menyeruput teh saat berbuka puasa nampaknya mulai jarang dijumpai. Budaya minum teh di sebelas bulan lainnya diganti dengan budaya minum sirup saat berbuka puasa di Bulan Ramadan. Barangkali inilah yang menjadi alasan guru besar pertama bidang kajian periklanan di Indonesia, Professor Rudy Harjanto menyatakan bahwa iklan merupakan cermin budaya masyarakat saat iklan itu ditayangkan, termasuk harapan-harapan masyarakat itu.

Maraknya iklan berkorelasi positif dengan meningkatnya belanja masyarakat. Budaya konsumerisme yang dibawa oleh iklan-iklan di media, khususnya di televisi telah membawa paradigma baru bulan ramadan sebagai bulan belanja. Ketimbang sibuk mempersiapkan diri dari dalam, orang-orang malah sibuk mempersiapkan hal-hal remeh yang berasal dari luar.

Budaya konsumerisme nampaknya telah menjadi noda hitam di Bulan Ramadan yang sebagian orang justru mengkeramatkannya sebagai bulan suci. Seharusnya Bulan Ramadhan adalah sarana untuk melatih diri menjadi manusia yang lebih bijak dan sederhana bukan menjadi manusia yang berlebih-lebihan.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Sabtu, 06 Juli 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar