Kamis, 27 Desember 2018

Yang Tidak Ayah Wariskan pada Anaknya


Ini bukan iman, sebagaimana dendangan nasyid Rayhan, bahwa ia tidak dapat diwariskan dari seorang ayah kepada anaknya yang meskipun dia adalah seorang anak yang berbakti. Iman adalah pilihan dan tanggung jawab masing-masing individu kepada penciptanya.

Ini soal lain. Ini perihal sulitnya sang buah hati makan. Ini juga bukan warisan orang tua kepada anaknya. Akan tetapi, yang kedua ini adalah tanggung jawab orang tua sepenuhnya kepada si anak untuk mengasupinya makanan halal dan baik.


Sumber : Kredit Pribadi (Seminar dr. Apin)
Hari Ahad, 23 Desember 2018, dr Apin, seorang dokter spesialis anak menjawab keraguan saya soal apakah pola makan anak saya yang saya anggap susah adalah warisan dari ayahnya. Menurut ibu mertua, ayahnya semasa kecil lebih susah lagi makannya dan saya jadi bertanya-tanya, mungkinkah memang itu adalah bagian dari interaksi genetika? Tapi tidak, tegas dokter Apin. Tidak ada satu pun penelitian yang membuktikannya. Yang ada, kalau ayahnya yang sekarang sudah jadi bapak, ogah-ogahan makan di depan anaknya, nah bisa jadi itu jadi contoh bagi si anak sehingga si anak pun juga jadi ogah makan.

Itu berarti, segala yang terjadi pada anak bayi kita, baik buruknya asupannya, adalah lebih banyak dipengaruhi oleh pola asuh orang tuanya dalam pemberian makan. Maka keluhan saya tentang sulitnya bayi kami makan, sempurna adalah keluhan yang datang dan untuk diri saya sendiri sebagai orang tuanya. Lempar batu untuk diri sendiri.

Hal menarik dari paparan dokter Apin, menanggapi pertanyaan saya soal anak yang susah makan adalah pertanyaan baliknya kepada saya, apakah benar anaknya susah makan atau hanya tidak mau makan nasi? Jangan sampai, lanjutnya, anak kita sebenarnya doyan kentang tapi kita paksa makan nasi sehingga kita cap dia susah makan.

Jleb, jleb, jleb!

Tiga bulan ini, makanan bayi kami memang lebih banyak disuguhkan dengan menu nasi sebagai sumber karbohidratnya, dan faktanya dia memang bosanan anaknya. Kalau hari ini makan nasi, tiga hari lagi harus diganti dengan kentang, dan selanjutnya ganti lagi dengan makaroni dan seterusnya. Tapi seringnya saya malah malas keluar mencari sumber karbohidrat lain untuknya. Akhirnya, saya menawarkan seadanya, apa saja yang tersedia di meja makan kami.

Waktu di Belanda, makanan bayi kami lebih variatif dan hanya ada saya dan ayahnya sebagai penjaga gawang asupan gizi anak kami. Meskipun memang tidak selahap sebayanya, tapi bayi kami tetap makan. Kondisi tubuhnya pun sehat dan berdasarkan pemeriksaan dokter, pertumbuhannya baik-baik saja, alhamdulillah.

Tiga bulan tinggal di Indonesia, kepala saya pusing juga dinyanyikan hampir setiap hari oleh keluarga besar kami bahwa anak saya susah makan. Padahal saya tahu, anak yang kelihatannya susah makan pun, tidak boleh diucapkan kepadanya bahwa dia susah makan. Harusnya tetap diucapkan kalimat-kalimat positif agar si anak mau makan. Lah gimana, semua bilang “dia susah makan”. Haruskah kuganti paspor jadi warga negara Belanda?

Hidup di Indonesia, kata dokter Apin, memang harus banyak sabar dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Sabar pada dua hal: sabar terhadap anak dan sabar terhadap orang-orang sekitar. Misalnya, si mama sudah tahu MSG itu tidak baik, tapi sama tante/om/kakek/nenek/tetangga malah ditawari krupuk ber-MSG tanpa sepengetahuan mama. Saat ditegur, malah mama dimarahi, “untung anakmu mau makan ini, kalau tidak, dia mau makan apalagi”. Haduh pyusing pala mama. Ini kisah nyata loh. Curhat seorang mama di seminar dokter Apin yang duduk tepat di sebelah saya.

Nah, kembali lagi, karena anak sepenuhnya tanggung jawab kedua orang tuanya, maka upaya maksimal seharusnya dikerahkan untuk proses tumbuh kembangnya. Dan yang saya suka dari penjelasan dokter Apin soal proses memberi makan anak adalah kebijaksanaannya untuk tidak memaksakan ‘yang ideal’. Misalnya, kita tahu kalau anak harusnya duduk di kursi makannya bersama orang tua ketika jam makan tiba, tapi realitanya, anak malah lari keliling rumah sambil ibunya keringatan demi menyuapinya satu dua suap nasi. Tidak apa-apa, kata si dokter. Sepanjang si ibu masih kuat berlari, silakan saja disuap sambil lari-lari. Jika kita belum mampu melakukan ‘yang ideal’, tidak apa-apa kita melakukan semampu kita sepanjang anak dapat terjamin bahwa asupannya terpenuhi. Pelan-pelan, nanti anak akan belajar untuk makan di kursi. Mungkin bukan sekarang. Mungkin nanti ketika dia sudah lebih besar.

Alhamdulillah, saya kala itu langsung merasa dapat tim hore. Setiap kali menyuapi bayi kami makan sambil kejar-kejaran, saya selalu dihantui perasaan bersalah, apakah saya gagal mendampingi anak saya dalam proses makannya? Mengingat, di Belanda, orang-orang sangat patuh pada budaya makan di meja bersama. Saya ingat sekali, dokter di sana mewanti-wanti saya agar anak tidak makan sambil lari-lari. Anak harus makan dengan rapi bersama orang tuanya.

Well, tapi bukan berarti semua jadi dilonggarkan. Contohnya nih, memberi makan anak dengan hadiah, itu amat tidak boleh. Kenapa? Kata dokter Apin, anak tidak akan belajar mengenali rasa laparnya jika dia makan karena paksaan atau ada sesuatu yang diinginkannya setelah makan. Ini bisa jadi masalah untuk pertumbuhannya.

Setelah mengikuti seminar ini, tiga hari setelahnya saya langsung ke puskesmas dekat rumah, meminta Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk bayi kami. Sebenarnya ada aplikasi PrimaKU yang bisa dipasang di HP pintar, sebagai pengganti buku KIA, tapi untuk sementara, saya lebih memilih yang buku KIA sekalian bisa ke puskesmas mengecek rutin pertumbuhan bayi kami. Saya pun lega setelah menimbang dan mengukur tinggi dan lingkar kepala anak kami, bahwa dia, alhamdulillah, tumbuh normal dan sehat.

Sumber : Kredit Pribadi (Isi KIA)
Mengikuti seminar dokter Apin membuka mata saya akan banyaknya barisan ibu-ibu yang sudah melek literasi kesehatan bagi anaknya. Hebatnya lagi, bapak-bapak juga banyak yang ikutan. Sungguh menjadi ibu dan ayah adalah proses belajar yang panjang.

Saya juga merasa surprise, panitia menyediakan ruang khusus untuk anak lengkap dengan penjaganya sehingga para orang tua dapat mengikuti seminar dengan nyaman tanpa gelisah meninggalkan anaknya di rumah. Saya jadi ingat, di Belanda, kalau mengikuti kursus santai bahasa Inggris, saya diperbolehkan membawa anak, dan kami berkumpul di tempat yang selalu ada pojok bermain untuk anak-anak. Maka saya beri lima bintang untuk para panitia yang sudah bekerja keras demi terlaksananya seminar ini. Barakallahu fiykum.

6 komentar:

  1. Terima kasih testimoninya ibu.
    Sehat selalu membersamai anak-anak..
    Semoga berjodoh kembali di kelas edukasi kami. Aamin

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas apresiasinya. Boleh saya share di akun medsos saya?

    BalasHapus