Sumber : Kompasiana |
“Pernahkah kalian melihat sisi lain dari
keindahan kota ini?
Ada begitu banyak bangunan-bangunan yang mewah
dan gedung yang tinggi berdiri tegak di kota ini,
tapi apakah kalian tahu di antara bangunan
mewah dan gedung-gedung yang tinggi itu, ada sebuah tempat terpencil yang
ditinggali oleh kaum miskin?
Tempat yang jauh dari kata mewah, jauh dari
kata layak, dan sama sekali tidak ada kenyamanan.
Yang ada hanya botol-botol bekas, kaleng-kaleng
bekas, dan karung-karung.
Tidak seperti kehidupan kita, anak-anak bisa
menikmati segarnya air bersih,
sementara mereka yang tinggal di pinggiran kota
ini hanya memiliki satu sumur yang mereka pakai bersama untuk mandi dan minum.
Apakah ada yang bisa menjamin kalau air itu
bersih dan layak dikonsumsi?
Apa yang kalian rasakan ketika melihat ada
saudara kita yang hanya bisa makan nasi dan mangga saja bahkan sampai berpuasa
karena tidak memiliki apa-apa?
Sadarkah kalian di antara kita yang diberi kehidupan
berkecukupan tapi selalu merasa tidak cukup?
Masih pantaskah kalian untuk selalu mengeluh
meskipun hidup kalian sudah berkecekupan?
Kalian bisa menyantap makanan setiap hari,
kalian bisa langsung makan setiap kali lapar, kalian bisa tidur dengan nyenyak
di kasur yang empuk.
Lalu bagaimana dengan kehidupan mereka yang
tinggal di pinggiran kota ini?
Jauh dari kata layak, tapi mereka masih bisa
tersenyum.
Tidak malukah kalian untuk terus mengeluh?
Pernahkah kalian berbagi dengan mereka yang
membutuhkan?
Pernahkah kalian menyempatkan waktu walau
sedikit hanya untuk mendengar keluh kesah mereka?
Bagaimana perasaan kalian saat mengalami apa
yang kulihat dan kurasakan ini?
Seorang ibu yang menanggung tiga orang anak dan
suami yang sudah tidak bisa bekerja karena sakit.
Saat aku menatap mata wanita tua itu, aku bisa
melihat betapa berat penderitaan yang ia bawa sendiri.
Aku bisa melihat ketakutan-ketakutannya.
Saat itu hatiku perih melihat air matanya.
Kawan, mari melihat lebih dekat kehidupan orang
pinggiran!
Karena mereka adalah saudara kita juga, mereka
juga bagian dari keluarga kita.
(Safirli, mahasiswa Akuntansi Madya II)
Tulisan di atas, dengan sedikit editan dari saya, adalah potongan tulisan milik
mahasiswa yang mengumpulkan tugasnya selepas mengunjungi rumah warga di kampung
pemulung. Jauh lebih banyak dari apa yang saya bayangkan tentang apa-apa yang
bisa mereka pelajari. Tugas memahami liabilitas dari perspektif kaum miskin
membuat mereka belajar bahwa definisi yang disajikan buku teks selama ini, hanya
berasal dari definisi pengusaha-pengusaha besar. Kaum miskin punya definisi
sendiri, dan tentu saja itu juga adalah ilmu akuntansi. Kami menolak dikotomi
yang ditawarkan sistem pendidikan dengan memisahkan kehidupan orang-orang
marginal dari bangku kuliah. Kami memasukkan derita kaum miskin sebagai masalah
kami bersama. Masalah kami sebagai bagian dari masyarakat.
“One
cannot expect positive results from an educational action program which the
particular view of the world held by the people.” (Paulo
Freire)
Ada banyak tulisan yang saya terima, dengan
berbagai cerita dan perspektif berbeda. Dunia mereka yang berbeda, pada awalnya
membuat mereka kaget dengan kondisi yang harus mereka lihat di kampung
pemulung. Jauh dari layak, kata mereka. Tapi dari sana, mereka belajar membuka
hati dan pikiran untuk mulai mengenal derita orang-orang tertindas. Tertindas
ketidakadilan di negeri ini.
Sumber : Safirli Sahastripa |
Mereka melihat sendiri, seorang ibu yang renta,
yang sedang sakit tumor, tidak mendapatkan jaminan kesehatan karena tidak
memiliki kelengkapan berkas administrasi. Mereka mulai mengutuk mimpi kota ini
untuk menjadi kota dunia, namun apa yang mereka temukan di sana jauh dari keindahan
kota dunia.
Kesemua hal yang mereka pelajari, membuat saya bahagia.
Mereka menghebatkan saya. Saya merasa semakin banyak tangan kini. Saat saya
bertanya, “maukah kalian bersungguh-sungguh belajar untuk kelak menebarkan
manfaat bagi orang-orang miskin, papa dan tertindas?”. Anggukan mereka
melambungkan harapan di masa depan. Mahasiswa-mahasiswa yang siap belajar untuk
bermanfaat dan berarti.
“Terima kasih Ibu Andis, sudah mengajak kami
peduli.”
“Terima kasih sudah membuat kami belajar di
luar tembok kelas yang nyaman ini.”
“Terima kasih sudah membuat kami belajar tidak
hanya dari buku teks akuntansi.”
Tiga ungkapan itu membuat segala lelah sehabis
mengajar jadi hilang. Ungkapan-ungkapan yang lebih berharga dari selembar
sertifikat atau piagam. Efeknya jangka panjang. Sekali lagi kata seorang kawan,
aktivitas mengajar itu aktivitas penyadaran dan subversif, memang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar